REIPITA SARI : Blog bwat berbagi

Senin, 08 Maret 2010


ANTO, 12 TAHUN
Aku Anton, 12 tahun. Profesi ku sebagai penyanyi jalanan (pengamen). Aku hidup dengan kedua orang tua ku. Hidup dengan sederhana, malah amat sederhana. Aku mengamen untuk membantu orang tua ku mencari nafkah setelah aku tak dapat lagi bersekolah. Alasan ku tidak sekolah bukan karena aku anak malas atau biaya yang mahal walaupun aku akui bahwa biaya salah satu faktornya. Tapi, yang lebih miris para mafia pendidikan yang membuat ku seperti ini.
Aku pernah mengenyam pendidikan di sebuah sekolah dasar. Tapi, pendidikan yang ku dapat tak berjalan mulus. Sebagian anak-anak lain yang memiliki nasib lebih beruntung daripada aku karena materi yang dimilki oleh orang tua mereka sebagian  menjadi anak yang manja. Mereka beranggapan apapun yang mereka minta patut untuk di penuhi oleh orang lain.
Semua ini bermula pada hari senin pagi, guru ku berjanji untuk melaksanakan ulangan harian matematika. Kami yang sudah duduk rapi di tempat duduk masing-masing siap menerima kertas ujian dan menjawab semua pertanyaan yang ada. Aku menjawab dengan tenang sumua soal yang ada karena aku telah belajar semalaman untuk mendapatkan nilai yang baik.
Tapi pada saat aku mengerjakan soal yang ada, dari arah belakang terdengar nama ku di panggil dengan berbisik. ”Ssssttttt, hei Anto....Anto....Anto...”panggilnya.  Aku menolehkan badan ku ke arah sumber suara yang memangil ku. Aku melihat seseorang yang memanggil ku dia meminta ku untuk memberikan jawaban ku kepada nya. Aku tak menggubris sedikitpun permintaannya dan kembali mengerjakan soal yang belum selesai ku kerjakan.
”Waktu mengerjakan habis, letakkan bulpen kalian”guru memberikan perintah. Aku meletakkan bulpen ku di atas meja. Ku telusuri soal-soal yang telah ku kerjakan sambil mengoreksinya satu persatu. Guru ku mulai berkeliling mengambil kertas ujian kami. Setelah selessa kami di perbolehkan istirahat terlebih dahulu dari kelas lainnya, kami mendapat bonus 10 menit waktu istirahat.
Tapi bertambahnya waktu istirahat pun tak berpengaruh pada ku. Aku tak bisa seperti anak lainnya, selalu mendapatkan uang jajan sedangkan aku selama istirahat menyibukkan diri dengan hal-hal lain sperti membca buku, ke perpustakaan, dll yang bisa ku kerjakan.
 Aku duduk di bangku taman sambil membaca buku pengetahuan alam (IPA), pelajaran selanjutnya. Ketenangan ku terganggu dengan suara ejekkan serta lemparan kertas ke arah ku. Mereka menyebutku ”ANAK GEMBEL”. Tak ku hiraukan ejekkan dan lemparan kertas itu, karena semua ejekkan itu sudah sering bergema di telinga ku. Mereka merasa geram dengan sikap ku yang tak memperdulikan ejekkan dan lemparan mereka hingga berakhir dengan lemparan batu yang mendarat di kepala ku.
Sakit mendera di kepala ku, kemarahan ku yang sedari tadi ku bendung tak lagi tertahan. Aku berdiri dari tempat duduk ku mencari seorang pelopor yang dengan teganya melakukan semua ini kepada ku. Tak lama ku mencari, seseorang berdri di hadapan ku tertawa keras dengan kata-kata ejekkan yang terlontar keras dari mulutnya. Bunyi DEBAM keras, terdengar. Seorang yang mertawakan ku keras sekarang bungkam seribu bahasa, terjatuh ke tanah. ”DIA PINGSAN”.
Aku yang melayangkan pukulan ku ke arah rahang bawahnya, membuatnya jatuh dan pingsan. Di bawah kaki ku. Aku melihat sosok yang ku benci terkulai tak berdaya, mata ku berair rasa bersalah membuat sesak di dada ku. Sakit di kepala ku yang sedari tadi tak ku rasakan karena emosi berbalut rasukkan setan, sekarang ku rasakan kembali. Ku cengkram kepala ku dengan tangan yang ku gunakan memukul jatuh seorang yang sekarang terkulai di kaki ku. Ku rasakan cairan mengalir di atas pelipis ku, ”DARAH”.
Mata ku terbuka, penglihatan ku kabur. Ku pejamkan kembali mata ku dan kembali ku buka pelan-pelan, sekarang aku bisa melihat dengan jelas. Tapi, yang ku lihat semua berwarna putih, ternyata aku berada di sebuah rumah sakit. Kepala ku terbalut dengan perban di sebelah ku terbaring seseorang yang ku kenal, seseorang yang ku buat terkulai di kaki ku.
Engsel pintu berputar, dari balik pintu muncul guru matematika dan kedua orang tua ku. Ibu ku membawakan tas ku sedangkan ayah ku membawa sepucuk surat di tangannya, surat yang ku rasa bertanda buruk. Dan itu benar. “Maaf Anto, kamu tidak bisa melanjtkan sekolah. Ibu sudah berusaha” jelas guru ku. Aku terdiam, pertanyaan-pertanyaan menggema di kepala ku tapi tak bisa ku keluarkan.
Seakan ada sesuatu yang menyumbat mulut ku, memaksa ku menuruti semua keputusan yang di berikan secara sepihak dan tak adil ini dengan sukarela tanpa perlawan yang berarti. Sesampai di rumah Ibu ku membawa ku masuk ke kamar untuk beristirahat. Tapi pikiran ku terganggu dengan semua pertanyaan yang tak memiliki jawaban.
“Kepala sekolah aneh. Hanya karena anak itu punya orang tua kaya yang mampu menyumbang pembngunan sekolah dengan uang yang banyak dia mengeluarkan anak kita, padahal dia tahu bahwa anak kita tidak bersalah. Dia Cuma  membela diri dari anak manja itu.” Teriak ayah marah. Pertanyaa ku pun telah terjawab. Karena uang semua orang bisa buta dengan kebenaran, fakta bisa di putar balikkan dengan “RUPIAH SEMATA”.
Ini lah derita yang di terima oleh orang-orang seperti kami. “TAK BERDAYA KARENA TAK PUNYA RUPIAH”.
Dan sekarang aku turun ke jalanan, karena orang tua tak mau lagi menyekolahkan aku. Tak percaya lagi dengan pendidikan.
Aku turun ke jalan mencari rupiah demi rupiah, untuk mebantu keuangan keluarga ku. Hari ini aku turun ke jalan seperti biasa dengan gitar kecil yang setia menemani ku. Ku petik senar-senar gitar, ku lantunkan lagu ”LASKAR PELANGI” dari nidji. Suara ku mengalun ke seluruh penjuru bus kota yang ku naikki. Setelah bernyanyi ku ulurkan gelas plastik sisah  air mineral untuk mendapatkan rupiah. Setelah gelas pastik berisi aku turun dari bus kota, duduk di halte dan menghitung hasil yang ku dapat hai ini. Tengah asyik menghitung koin-koin rupiah yang ku dapat, anak laki-lai sebaya ku berlari kencan kemudian terjatuh tepat di bawah kaki. Tediam sejenak, kemudian tergesa kembali. ”TRANTIP”.
”TRANTIP”. Terdengar seseorang berteriak. ”Trantip” ulang ku. Kepanikkan menyerang ku, koin-koin di tangan ku terjatuh karena panik. Ku kumpulkan koin-koin yang terjatuh dengan tergesa-gesa, sambil melihat e sekeliling. Ku lihat orang-orang berseragam, membawa tongkat di tangan mereka mendekat dengan cepat ku berlari menjauh. Melihat ku yang lari tunggang langgang ketakutan, mereka mempercepat langkah semakin cepat sehingga jarak kami hanya sejauh 2 meter.
Kepanikkan ku menjadi-jadi, aku pun tak tau kemana langkah ku membawa ku pergi. Hingga akhirnya langkah ku terhenti, aku terjebak. Orang-orang berseragam itu menghadang ku dari arah depan dan belakang. Aku tak bisa lari lagi, akhirnya aku digiring naik ke sebuah truk pengangkut manusia. Truk ini di penuhi orang-orang yang berada di jalanan seperti aku yang dianggap mengganggu keamanan dan merusak pemandangan kota dengan kehadiran kami di jalan.
Mesin Truk pengangkut menyala, berjalan menuju suatu tempat yang ku dengar sangat tak nyaman. Sebuah tempat yang menampung pengemis, pengamen, gelandangan dll di dalamnya. Tapi, bukan hal itu yang membuat tempat ini terkesan menyeramkan dan kumuh. Para orang-orang yang di kumpulkan disini tak nyaman karena mereka diperlakukan bukn seperti manusia.
Mungkin dengan santai orang yang tak pernah tau kondisi di dalamnya bilang ”Tinggal disana tentu enak, makan gratis tempat tinggal gratis dan kerjanya hanya tidur dan makan.” tapi berbeda dengan kami yang pernah berda disana.
Mungkin istilah ini yang tepat ”TAK ADA YANG GRATIS DI DUNIA INI”. Itu yang kami dapatkan, makanaan yang kami dapat memang grais tapi untuk menelan makan itu sampai ke tenggorokkan perlu usaha keras. Keringnya nasi yang kami makan haru di bantu dengan menegak air setiap suapannya. Kami mendapatkan lauk telur setiap harinya tapi tampilan telur yang ku kenal selam di luar berbeda dengan disini. Telur disini lebih elastis sepertinya entah apa yang di campurkan di dalamnya hingga telur ini bisa seelastis karet.
Itu baru soal makanan yang gratis, kita lanjutkan dengan tempat tinggal yang gratis pula. Kami tidur dengan kasur yang empuk, selimut yang tebal dan hangat serta pendingin ruangan yang senantiasa memberi kesejukkan. Tapi, itu semua hanya mimpi. Kami tidur beralaskan lantai yang dingin di waktu malam, dalam satu ruangan kecil kira-kira berukuran 3*4 meter kami berkumpul kira-kira 25 orang. Kami harus berbagi ruang dengan yang lain. Pertengkaran pun tak terelakkan karena ingin menang sendiri dan merasa lebih kuat dari yang lainnya, dia mengingikan lebih di hargai dari yang lain tapi ini tak mendapat sambutan yang baik dan terjadi pertengkaran yang mengakibatkan seisi ruangan gaduh,perkelahin terjadi.
Penjaga panti terbangun dari tidur dengan kemarahan menyertainya. Memukulkan tongkat ke pintu dengan keras. Seisi ruangan terdiam. Menunduk takut. ”SIAPA DALANGNYA” teriak penjaga geram. Semua terdiam takut untuk menyatakan siapa dalang dari kejadian ini. ”BAIK, KALIAN AKAN MENERIMA HASIL ERJA KALIAN MALAM INI BESOK PAGI” teriak penjaga lagi. Kami tetap terdiam hingga penjaga pergi. ”Ini sepeti penjara” gumam ku dalam hati. Dan melanjutkan tidur karena keadaan sudah lebih tenang.
Paginya kami mendapatkan hukuman dari penjaga, kami harus membersihkan lingkungkan panti. Baik dalam ruangan maupun di luar ruangan, yang lbih beratnya lagi kami tidak mendapatkan jatah makanan seharian stelah melakukan semua tugas itu. Apabila kami menolak melakukan tugas itu berarti hukuman lanjutan yang lebih parah dari ini siap kami terima. Kami melakukan semua perintah penjaga, tugas selesai. Malam tiba, kami tidur dengan perut kosong dan harus kami tahan sampai pagi tiba.
3 hari disini serasa 3 tahun, hari ke 3 orang tua ku datang untuk mengeluarkan aku dari sini. Mengeluarkan aku dari sini pun menggunakan rupiah. Orang tua ku merogoh kocek Rp 300.000,- membayar biaya aku keluar dari tempat ini. Kecil memang bagi orang yang mampu tapi bagi orang tua ku jumlahnya terlalu besar untuk mengumpulkan uangnya mereka bekerja ekstra dan meminjam dari para tetangga yang lebih mampu.
Sesampai di rumah, aku duduk di kamar termenung. Pintu kamar ku di ketuk, “To, ayah mu ingin bicara”panggil ibu. Panggilan ibu membuyarkan renungan ku, beranjak berdiri dan keluar dari kamar menghampiri ayah yang tengah duduk di depan rumah. “Yah”panggil ku. Ayah ku menoleh “duduk”perintahnya.
Aku duduk di sampingnya dan mulai untuk mendengarkan. “To, ayah tahu kamu ngamen buat bantu ayah dan ibu. Tapi ayah mau kamu lebih hati-hati kalau ada Trantip. Ayah juga sebenarnya ingin kamu sekolah, tapi Ayah sudah terlanjur benci dengan para guru yang bisa di bayar pake’uang seperti kepala sekolah mu kemarin” jelas Ayah. 
Aku hanya mengangguk menjawab ucapan ayah ku. Dan baranjak kembali ke kamar.

1 komentar:

  1. komentar apapun yang sifatnya membangun diterima....
    makasih.....

    BalasHapus